Uncategorized

*Ribuan Masyarakat Desa Pematang Panggang, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Desak Bupati H. Muchendi Mahzareki Aktifkan Kembali Ibrahim Bin Hasan sebagai Kepala Desa, Tegas Menolak Diganti dengan Kades Lain Meski Berstatus Nonaktif Akibat Perkara Hukum*

72
×

*Ribuan Masyarakat Desa Pematang Panggang, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Desak Bupati H. Muchendi Mahzareki Aktifkan Kembali Ibrahim Bin Hasan sebagai Kepala Desa, Tegas Menolak Diganti dengan Kades Lain Meski Berstatus Nonaktif Akibat Perkara Hukum*

Sebarkan artikel ini

HORIZON.ID 19/12/2025. DESA PEMATANG PANGGANG OGAN KOMERING ILIR_

Gelombang tekanan publik mengguncang Desa Pematang Panggang, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sekitar delapan puluh persen masyarakat secara terbuka menyatakan sikap politik dan moral dengan satu tuntutan tegas: mengaktifkan kembali Ibrahim Bin Hasan sebagai Kepala Desa definitif setelah satu tahun dinonaktifkan. Bagi warga, ini bukan sekadar soal jabatan, melainkan soal keadilan, kebenaran, dan dugaan rekayasa yang dinilai telah menjatuhkan pemimpin pilihan rakyat.

 

Masyarakat menilai penonaktifan Ibrahim Bin Hasan sarat kejanggalan dan tidak mencerminkan keadilan substantif. Warga meyakini perkara hukum yang menjerat kepala desa mereka bukan lahir dari niat jahat atau pemalsuan pendidikan, melainkan akibat rangkaian persoalan administratif yang kemudian berkembang menjadi perkara pidana. Keyakinan ini menguat karena masyarakat mengetahui secara langsung riwayat pendidikan Ibrahim Bin Hasan yang dinyatakan pernah menempuh pendidikan formal secara sah.

 

Menurut keterangan yang berkembang, persoalan bermula ketika ijazah SD dan SMP milik Ibrahim Bin Hasan hilang menjelang tahapan pencalonan kepala desa. Dalam kondisi keterbatasan waktu dan minimnya pemahaman hukum, yang bersangkutan disebut berupaya mencari solusi administratif dengan mendatangi pihak sekolah untuk meminta arahan resmi terkait pengurusan keterangan pendidikan.

 

Dalam pertemuan tersebut, berdasarkan keterangan yang terekam dan beredar di tengah masyarakat, pihak sekolah menyampaikan bahwa proses pengurusan ulang dokumen pendidikan formal dinilai memakan waktu lama. Sebagai alternatif, muncul saran agar yang bersangkutan menempuh jalur pendidikan kesetaraan melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dengan keyakinan bahwa ijazah tersebut sah dan dapat digunakan untuk keperluan administrasi, termasuk pencalonan kepala desa.

 

Masyarakat menilai saran tersebut disampaikan tanpa penjelasan risiko hukum yang memadai. Dalam posisi sebagai warga desa awam tanpa pendampingan profesional, Ibrahim Bin Hasan disebut menerima saran itu dengan itikad baik, meyakini bahwa langkah tersebut merupakan solusi administratif yang legal, bukan tindakan manipulatif atau pemalsuan dokumen.

 

Proses pendidikan kesetaraan kemudian dijalani. Namun, fakta krusial yang belakangan mencuat adalah dugaan bahwa dokumen pendidikan kesetaraan tersebut tidak tercatat atau tidak terdaftar sebagaimana mestinya dalam sistem administrasi pendidikan. Kondisi inilah yang kemudian menjadi dasar munculnya laporan hukum terhadap Ibrahim Bin Hasan.

 

Di titik inilah masyarakat menilai adanya kejanggalan serius. Warga mempertanyakan mengapa beban hukum justru diarahkan sepenuhnya kepada kepala desa, sementara pihak-pihak yang memberi saran, mengelola lembaga pendidikan kesetaraan, hingga institusi yang memiliki kewenangan pembinaan dan pengawasan pendidikan tidak tersentuh pertanggungjawaban hukum secara seimbang.

 

Dugaan rekayasa semakin menguat di mata masyarakat karena laporan tersebut disebut memiliki keterkaitan dengan lawan politik Ibrahim Bin Hasan dalam kontestasi kepala desa. Hubungan ini memunculkan dugaan konflik kepentingan yang menurut warga patut diuji secara terbuka, objektif, dan menyeluruh.

 

Masyarakat menegaskan bahwa substansi perkara ini bukanlah soal “tidak sekolah”, melainkan soal kehilangan dokumen dan kesalahan prosedur administratif akibat minimnya pendampingan dan lemahnya sistem pengawasan. Warga memandang kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi administratif yang bertentangan dengan prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana.

 

Dalam perspektif hukum, masyarakat menyoroti penerapan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pemalsuan surat yang mensyaratkan adanya unsur kesengajaan dan niat jahat untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Warga menilai unsur tersebut tidak terpenuhi secara moral dan sosial karena tindakan yang dilakukan didasarkan pada arahan pihak yang dianggap berwenang.

 

Masyarakat juga mengaitkan perkara ini dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin setiap warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Bagi warga, kepastian hukum tidak boleh berhenti pada formalitas prosedural, tetapi harus menghadirkan keadilan substantif.

 

Dukungan masyarakat terhadap Ibrahim Bin Hasan terus menguat karena selama menjabat, ia dinilai menjalankan kewajiban kepala desa sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yakni memimpin pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat desa secara aktif dan nyata.

 

Masyarakat secara tegas menolak pergantian kepala desa dengan figur lain. Mereka menilai langkah tersebut justru berpotensi memperpanjang konflik sosial, merusak kepercayaan publik, dan mengabaikan aspirasi mayoritas warga. Warga mengingatkan bahwa Pasal 40 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan kewenangan kepada bupati untuk mengaktifkan kembali kepala desa dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan stabilitas pemerintahan desa.

 

Terkait beredarnya pernyataan di media sosial yang mengatasnamakan masyarakat Desa Pematang Panggang dan menyatakan keberatan terhadap putusan pengadilan, warga menegaskan bahwa pernyataan tersebut bukan berasal dari masyarakat secara kolektif. Mereka menilai tindakan tersebut berpotensi melanggar Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan penyebaran tuduhan tanpa dasar yang sah.

 

Masyarakat menegaskan tetap menghormati proses hukum dan putusan pengadilan sebagaimana prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Namun, mereka juga menuntut keberanian pemerintah daerah untuk menggunakan diskresi administratif secara adil, proporsional, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

 

Kini sorotan publik tertuju pada Bupati Ogan Komering Ilir H. Muchendi Mahzareki. Keputusan yang akan diambil dinilai bukan sekadar administratif, melainkan akan menjadi penentu apakah suara mayoritas rakyat desa akan didengar atau diabaikan. Bagi masyarakat Pematang Panggang, mengaktifkan kembali Ibrahim Bin Hasan adalah langkah korektif untuk memulihkan keadilan sosial, stabilitas pemerintahan desa, dan martabat demokrasi di tingkat akar rumput.

 

Penulis: Joni Putra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *